Cerita Kami


Hai, nama saya Lita, dan saya pendiri dan pemilik Atelier Nyonya.

Atelier Nyonya hadir di tengah masa yang sangat menegangkan dalam hidup saya—tahun lalu, saat saya sedang menulis tesis magister saya. Satu-satunya pelampiasan saya untuk menghilangkan stres, mesin pembuat pasta yang andal, rusak, membuat saya tidak punya cara untuk bersantai. Pada saat yang sama, saya sedang mempersiapkan wisuda saya (dengan asumsi saya akan lulus) dan bertekad untuk mengenakan sesuatu yang benar-benar istimewa untuk acara tersebut. Saya mencari ke mana-mana untuk mencari kebaya atau batik yang terasa pas, tetapi tidak ada yang tersedia di Belanda. Meskipun saya memiliki banyak kebaya dan batik, gaya spesifik yang saya bayangkan tidak tersedia. Selama masa yang kacau ini, ide untuk Atelier Nyonya mulai terbentuk—campuran antara frustrasi, kebetulan, dan gairah.

Sebelum pindah ke Belanda, saya menghabiskan sepuluh tahun membangun perusahaan saya sendiri di Indonesia. Saya memulainya dari nol—tanpa bantuan dari luar, tanpa pinjaman—hanya kerja keras dan keyakinan pada visi saya. Itu tidak mudah. ​​Saya menghadapi banyak kemunduran dan kekecewaan, tetapi hasrat saya terhadap apa yang saya lakukan membuat saya terus maju. Sepuluh tahun itu mengajarkan saya pelajaran yang sangat berharga, tidak hanya tentang menjalankan bisnis tetapi juga tentang ketahanan. Ketika saya akhirnya pindah ke Belanda, saya harus menutup perusahaan itu, meskipun perusahaan itu sedang berkembang pesat.

Memulai hidup baru di negara baru di pertengahan usia 30-an merupakan tantangan baru. Saya harus menerima pekerjaan bergaji tetap, yang sulit bagi seseorang seperti saya. Saya selalu sedikit tidak konvensional—saya lebih suka melakukan sesuatu dengan cara saya sendiri. Selain itu, saya sering kali merasa diremehkan. Sebagai perempuan berkulit sawo matang, orang-orang membuat asumsi tentang saya, mempertanyakan kemampuan saya. Promosi jabatan tidak pernah saya dapatkan karena saya tidak memiliki "kertas yang tepat", apa pun artinya itu. Saat itulah saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan akademis saya. Pada tahun 2020, di usia 40-an, saya mendaftar di apa yang saya sebut sebagai "layanan streaming termahal" — sekolah.

Ide mendirikan Atelier Nyonya (sebelumnya bernama TSJ oleh Lita ) sudah muncul sebelumnya, tepatnya pada tahun 2021 saat pandemi sedang melanda. Saat itu, saya merintis toko daring sebagai cara untuk mengarungi ketidakpastian di masa itu. Namun, karena sekolah menyita seluruh waktu saya, akhirnya saya mengabaikannya selama hampir tiga tahun. Meski begitu, jiwa kewirausahaan saya tidak pernah pudar—itu bagian dari diri saya.

Setelah lulus, saya membuat keputusan tegas: Saya tidak akan kembali menjadi karyawan tetap. Saya ingin menciptakan sesuatu yang mencerminkan minat saya, sesuatu yang benar-benar milik saya. Saat itulah semuanya menjadi jelas—saya dapat menggabungkan kecintaan saya pada batik dan kebaya dengan semangat kewirausahaan saya.

Selama satu dekade terakhir, saya melihat bagaimana batik dan kebaya kembali digemari oleh generasi muda di Indonesia. Saat tinggal di sana, saya kerap memadukan batik dengan busana kerja, baik sebagai gaun maupun rok. Baru-baru ini, saya mulai mengenakan kebaya lagi, khususnya gaya kasual yang dibuat oleh usaha kecil di Indonesia. Kebaya sangat cantik dan serbaguna. Saat itulah saya menyadari bahwa inilah yang ingin saya ciptakan dan bagikan. Maka lahirlah Atelier Nyonya.

Bagi saya, di usia 46 tahun, Atelier Nyonya lebih dari sekadar bisnis. Ini adalah cerminan perjalanan saya—ketahanan, kreativitas, dan tekad saya untuk membangun sesuatu yang berarti dengan cara saya sendiri. Ini tentang menghormati seni dan makna budaya batik dan kebaya sambil berbagi keindahannya dengan khalayak yang lebih luas. Melalui Atelier Nyonya, saya tidak hanya menjual pakaian; saya berbagi cerita—kisah tentang penemuan kembali, ketekunan, dan mengikuti hasrat Anda, ke mana pun hidup membawa Anda.